"If I was given 8 hours to chop down a tree in the forest, I would use 6 hours to sharpen my ax" - Abraham Lincoln

Monday, July 16, 2012

Pahlawan Generasi Muda

Satu kesempatan emas saya bisa menuliskan pengalaman dalam Lomba Blog yang diselenggarakan oleh Sampoerna School. Dengan mengusung tema "Menjadi Pendidik", saya sebagai seorang siswa membagi pengalaman tentang seseorang yang dengan keterbatasannya berjiwa menjadi pembimbing. Melalui kesempatan ini saya juga mengandaikan diri menjadi seorang pendidik, sehingga yang saya tuliskan sekaligus merupakan harapan saya.

Teringat oleh cerita orangtua saya, dulu guru dan orangtua mereka sangat tegas, mereka tidak segan memukul anak didiknya. Saya sempat bergidik mendengar cerita mereka. Namun mereka menekankan, “Apa yang dihasilkan oleh guru dan orangtua yang tegas tersebut? Sebuah kesuksesan. Benih perjuangan. Benih keseriusan.” Memang benar adanya. Kita bisa lihat sekarang. Tidak sedikit pemimpin yang layak menjadi panutan. Tapi sekarang kita tidak tinggal di era itu lagi, apakah harus dengan kekerasan lalu menghasilkan benih yg akan berbuah ranum? Tidak, karena tanpa itupun sudah seharusnya generasi muda sekarang menjadi calon pemimpin masa depan. 

Sebagai seorang siswa, kami sangat mengidolakan sosok panutan yang memberi semangat. Dan untungnya saya dapatkan itu ketika SMA. Salah seorang guru saya, tepatnya beliau mengajar kimia. Beliau sangat komunikatif dalam mengajar, komunikasi dua arah terjalin baik. Dia tidak segan-segan bercanda atau ngelucu ketika kami (murid-murid) terlihat jenuh. Apalagi jika kebetulan beliau mengajar pada les jelang pulang sekolah, tak jarang beliau memaksa kami berdiri lalu nyanyi sambil joget-joget kecil, lagu kesukaannya adalah Topi Saya Bundar dan Burung Kakaktua. Tak bisa disangkal, atmosfir kelas langsung segar, lupa dengan rasa lapar atau bosan yang sebelumnya menyerang. 

Terlintas di pikiran, bukankah seorang guru yang komunikatif dan akrab dengan murid biasanya menjadi guru yang gampang ‘dipermainkan’ oleh murid? Ini satu pemikiran yang umum. Tak jarang seorang guru dilema dengan hal ini. Menurut cerita seorang guru kepada saya, di satu sisi seorang guru ingin bisa dekat dengan murid tapi di sisi lain mereka juga tidak mau murid menyamakan diri dengan mereka.  
Dan hal itu ditepis oleh guru kimia saya. Dibalik kehangatan yang selalu beliau tebar, beliau juga tegas kalau memang ketegasan itu diperlukan. Ketika belajar, belajar! Ketika main, baru main. Dan ketegasan beliau kami respon dengan positif. Disaat yang serius, kami semua serius. Disaat bercanda, barulah bercanda. Dengan begini, pelajaran bisa benar-benar diserap. Suasana kelas yang dibawa oleh beliau terasa ringan namun berharga. Sehari saja ketinggalan pelajaran beliau, rasanya rugi sekali. Tak ayal, beliau menjadi guru favorit di sekolah tempat saya belajar.

Praktikum Kimia
Ketika belajar, belajar! Ketika main, baru main. Dan ketegasan beliau kami respon dengan positif. Disaat yang serius, kami semua serius. Disaat bercanda, barulah bercanda.

Menghukum sambil bercanda




Di era yang berkembang, tak sedikit dari kami sebagai siswa terlena dengan kemudahan yang ditawarkan. Kebanyakan kami menganggap semuanya mudah dicapai. Ini juga yang ditakutkan orangtua kami. Kami menyadari itu, tapi kami ingin mencicipi sebagian kemudahan itu, hingga akhirnya kami terjebak menjadi seorang yang malas dan tak mau berusaha. Hanya saat belajar di sekolah lah kami lepas dari teknologi handphone dan internet karena ada guru dan peraturan yang mengawasi. Beruntung dengan adanya metode pendidikan terbaru yang menggunakan teknologi sebagai pemandu belajar buat siswa, kami diberi peluang/andil. Guru yang bijak adalah guru yang bisa melihat peluang. Melihat kami yang tidak bisa lepas dari teknologi, guru-guru sering meminta bantuan kami, bahkan tak jarang mereka minta diajari oleh kami bagaimana cara membuat presentasi atau slide. Dengan adanya kesibukan baru, kami bisa perlahan lepas dari internet yang kebanyakan kami pakai untuk hal kurang penting seperti main game atau keasikan chatting. Awalnya kami tidak sadar kalau dengan cara itu guru kami berusaha menghilangkan candu kami pada hal tersebut.
Setelah lepas dari candu tersebut, kami menyadari. Disamping mendidik moral kami, ternyata guru juga telah memotivasi kami untuk menghasilkan sesuatu yang baik. Dan inilah sosok yang sebenarnya sangat dirindukan oleh siswa. 
Untuk itulah kami rindu seorang pembimbing, bukan sekedar penasehat.
Kami rindu seorang pengabdi, bukan sekedar profesi.
Kami rindu seorang motivator, bukan sekedar orator.
Adakah dari kalian yang rela menjadi pelita dalam kegelapan kami?
Adakah dari kalian yang mau menjadi embun penyejuk dalam kehausan kami?
Karna tanpamu, bagaimana masa depan kami?

 Keterangan : Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Sampoerna School of Education

Tuesday, July 3, 2012

Coz i won't give up!

Semakin banyak hal yg bikin aku bertambah dewasa. Semakin banyak hal yang kini aku mengerti.
Berharap.? Ternyata berharap kepada manusia sama saja merelakan diri terluka.

Aku apa-apa bukan karna tanpa kamu, tetapi aku bukan apa-apa karna tanpa Tuhan.
Kini, aku tau ada sisi tegar yang ternyata aku miliki. Ketegaran yang aku yakini datangnya dari DIA.

Aku tetap berdiri. Disini. Dan akan segera berlari.
Berlari mengejar ketinggalan.
Karna aku tidak akan pernah menyerah apalagi berdiam melihatmu menertawai aku.